Post Ads

Inilah Cerita Karena Dia Adalah Seorang Acaraki

https://kabarharian96.blogspot.com/2016/02/inilah-cerita-karena-dia-adalah-seorang.html

"Karena Dia Adalah Seorang Acaraki"

Tapi bayangan hidup makmur itu melayang, setelah dia memikirkan tanggal kedaluwarsa atas produk-produknya itu.

Kabar Harian - Lihatlah wanita ini. Tangannya gemetar. Keringat dingin yang merayap di sekujur tubuh itu, sampai juga di telapak.

Sejenak dia menatap sendok yang digenggam tangan kanan. Air di panci besar itu sudah mendidih. Bahkan sudah sedari tadi.

Gemuruh didih air itu, sahut menyahut dengan kecipak ramuan, yang terus-terusan disundul luapan. Seperti meminta wanita itu agar segeralah menjatuhkan pilihan.

Tapi memilih di saat genting seperti itu sungguh tidaklah gampang. Seperti ramuan yang meluap-luap itu, batin wanita ini juga bergejolak. Ditarik ke dua sisi yang bertentangan.

Memegang teguh prinsip tradisional yang diajarkan para pendahulu, atau bayangan uang banyak yang sudah menari-nari di muka mata. Pilih yang mana?

Namanya Ibu Lasmi. Dan kita tinggalkan dulu kebinggungan di depan tunggu api itu. Mari ikuti dulu kisah Ibu Lasmi ini dan dunia jamu yang berpuluh tahun sudah digeluti.

Gemuruh didih air itu, sahut menyahut dengan kecipak ramuan, yang terus-terusan disundul luapan.  Seperti meminta wanita itu agar segeralah menjatuhkan pilihan.  

Tapi memilih di saat genting seperti itu sungguh tidaklah gampang.  Seperti ramuan yang meluap-luap itu, batin wanita  ini juga bergejolak. Ditarik ke dua sisi yang bertentangan. Memegang teguh prinsip tradisional yang diajarkan para pendahulu, atau  bayangan uang banyak yang sudah menari-nari di muka mata. Pilih yang mana?   

Namanya Ibu Lasmi.  Dan kita tinggalkan dulu kebinggungan di depan tunggu api itu. Mari ikuti dulu kisah Ibu Lasmi ini dan dunia jamu yang berpuluh tahun sudah digeluti. Dari mana dia mengenal ramuan. Bagaimana dia meramu. Dan sebesar besar kue bisnisnya.

Ibu Lasmi ini sudah lama berjualan jamu gendongan. Di kawasan Jakarta Selatan. Semenjak awal dia  memproduski  jamu dengan cara tradisional.  Cara sederhana. Yang diajarkan ibunya dan diwariskan dari nenek buyut turun-temurun.  

Di tangan Bu Lasmi bisnis ini mulai berkembang. Jamu olahannya terpilih masuk gerai salah satu supermarket, tempat orang-orang kaya lazim beranjangsana di akhir minggu.  Dan inilah kabar gembiranya. Pesanan supermarket itu tak tanggung-tanggung. Ratusan botol untuk puluhan gerai di sejumlah kota. Berpuluh tahun jualan jamu, inilah pesanan terbesar dalam bisnis jamu Bu Lasmi.

Dan tentu saja itu sebuah nasib baik. Rejeki yang harus disambut dengan sukaria. Dapurnya akan lebih sejahtera. Keluarga bisa lebih makmur. Dan dia tak perlu terus-terusan cemas dengan uang sekolah ketiga anaknya. Pokoknya, hidup akan lebih wangi. Lebih terang benderang.

Dan bukan itu saja. Rejeki itu tentu saja akan mengaliri sejumlah pekerja, yang diboyong dari kampung halamannya di Solo, tempat di mana jamu Beras Kencur sudah bertahun menjadi industri rumahan. Hidup para karyawan itu juga akan sumringah. Gaji bisa naik.

Tapi bayangan hidup makmur itu melayang, setelah dia memikirkan tanggal kedaluwarsa atas produk-produknya itu. "Jamu-ku dibuat secara segar, maksimum hanya bisa tahan dua sampai tiga hari saja. Bagaimana cara men-supply ke seluruh gerai supermarket tersebut?"

Ini pertanyaan penting dan tentu saja sulit jawabannya. Dalam  pikiran Bu Lasmi muncul satu kata, yang bisa menjadi solusi. Tapi dia merinding dengan solusi itu. Menggerikan.  Mendengar kata itu seperti mendengar rayuan iblis, agar mangsanya lekas terjun bebas ke jurang kematian.

"Pengawet," lenguh Bu Lasmi lemas, mengulangi kata terkutuk yang muncul dalam pikirannya. Dia sungguh tidak menerima bahwa itulah kunci utama meraih kesempatan emas yang kini menari-nari di depan mata itu.

Lalu, dengan berat hati dia mencari tahu cara pengunaan bahan pengawet itu untuk jamu. Mempelajari lebih dalam racikan yang sudah lama dianggap sebagai musuh utama, semenjak dia belajar meramu jamu. Semenjak jaman para buyut, bahkan dari masa para leluhur. 

Bak penjinak yang mempelajari sifat ular kobra, Bu Lasmi benar-benar  mempelajari soal pengawet ini.  Apakah mahluk mengerikan itu bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya? Itulah pertanyaan yang harus dijawab.

Dan ternyata bahan pengawet sudah umum dipakai untuk makanan dan minuman di jaman ini. Selama digunakan dengan takaran yang benar, bahan pengawet dinilai aman untuk dikonsumsi. Bahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengatur penggunaan bahan pengawet  itu lewat  Peraturan Kepala BPOM RI No 36 Tahun 2013.

Demi mengetahui semua informasi itu, gejolak dalam hati Bu Lasmi pun sedikit demi sedikit menjadi reda. Dia menjadi lebih tenang. Sesudah berkonsultasi kepada sejumlah orang, maka dibelilah sebotol garam pengawet.

Garam pengawet ini terdengar asing bagi kebanyakan orang. Tapi sudah akrab dalam dunia awet mengawet ini. Warnanya putih. Seperti garam dapur biasa. Dikemas dalam botol beling dengan label sederhana.

Kemasan itu tidak seperti kemasan rokok yang penuh dengan peringatan yang bikin kita meriang, lambang maut lengkap dengan tengkorak. Walau mental Bu Lasmi sudah cukup ditenangkan oleh berbagai penjelasan yang ia dapatkan mengenai garam pengawet ini, kegelisahan dalam hatinya masih belum pergi. Masih dengan rasa curiga, dia meletakkan botol garam pengawet itu  di dapur produksi-nya.

Sampai  pada suatu sore, Bu Lasmi hendak meracik jamu. Dan inilah ritual itu. Pertama-tama yang dia lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan jamu. Bahan-bahan itu dipetik dari kebun belakang rumah. Dicuci hingga bersih. Sesudah itu    dikeringkan.

Setelah semua siap, dia mengambil air dan memasukannya ke dalam sebuah panci besar.  Kompor gas sederhana itu kemudian menyala. Dari dingin, air mulai hangat, lalu  mendidih. Perlahan-lahan Bu Lasmi memasukan bahan-bahan jamu itu. Dengan hati yang tenang. Dia sangat menikmati proses pembuatan jamu yang lama diajarkan sang Ibunya itu.

Kenikmatan itu buyar ketika air mulai mendidih. Ketika aneka ramuan itu dicipak luapan air. Sebab inilah saatnya dia harus menceburkan garam pengawet. Tapi dia tak kuasa. Tangan sontak bergetar.

Keringat dingin, dia menatap sendok yang ada di genggaman tangan kanan.  Dia harus mengambil keputusan. Hatinya bergejolak. Dua suara yang saling berkelahi itu membuatnya mematung.  Memegang teguh prinsip tradisional yang diajarkan oleh para pendahulu atau memetik kesempatan finansial berlimpah yang sekarang di depan mata.

Terbayanglah  para pekerja. Terbayang juga rekan Jamu gendong binaan-nya, yang berjuang keras untuk mendapatkan kesempatan ini.  Dan Bu Lasmi tidak ingin mengecewakan semua orang-orang itu.  Lalu  sendok itu kecil bergerak mendekati panci Jamu...

Sebelum garam dituangkan, terbayanglah penghargaan-penghargaan yang pernah diterimanya. Yang mengakui integritas  Jamu hasil racikannya. Di mana dengan bangga dia menyatakan kepada segenap pelanggan, bahwa produknya bebas dari bahan kimia apa pun.

Terjepit di dua bayangan itu, sendok kecil bergetar di tangan Bu Lasmi.  Dia juga ingat  hasil riset kecil yang telah ia lakukan. Bahwa bahan pengawet jika dipakai sesuai aturan tidak berbahaya terhadap tubuh manusia.  Dan Bu Lasmi tidak ingin membantah hasil riset para apoteker itu. Maka, sendok kecil itupun kembali mendekati panci.

Perlawanan yang sengit terjadi di dalam pikiran dan hati Bu Lasmi. Sendok kecil di tangannya berulang kali berayun di atas panci Jamu, tapi dia ragu, ibarat tang di tangan penjinak bom yang sedang memilih untuk memotong kabel biru atau merah. Kabel mana yang akan menghentikan atau meledakkan bom di hadapannya ini.

Di tengah pertempuran antara idealisme dan realisme itu,  suara hangat ibunda membisik dari benak. Rasanya baru kemarin sang Ibu  duduk di sampingnya, mewarisi ilmu seluk beluk meracik jamu. Ilmu yang dipelajari sang Ibu dari para buyut. Ilmu yang diturunkan turun temurun.

Dia ingat  ajaran  Ibu, agar menjunjung tinggi kesegaran bahan Jamu yang dipakai.  Pemakaian bahan kimia apa pun tidak pernah sekalipun dianjurkan, apalagi diajarkan.  Resep Jamu ini merupakan perwujudan ibu, nenek dan para pendahulunya. Dan kini, dialah yang memikul kewajiban untuk menjaga semua itu.

Dirubung bayangan ajar sang Ibu, sendok kecil berisi garam pengawet itu terlihat seperti ular berbisa.  Dan dengan penuh perasaan jijik Bu Lasmi membuang sendok kecil itu ke samping.

Bu Lasmi sungguh mengerti segenap resiko ini. Dengan dibuangnya garam pengawet itu, maka lenyaplah kesempatan emas yang sudah ditunggu banyak orang. Tapi dia merasa lega. Jiwanya penuh sukacita. Dengan gembira dia mematikan api. Mempersiapkan botol-botol kosong. Mempersiapkan saringan lalu mulai mengemas Jamu-nya.

Bertahun-tahun sesudah kejadian itu, suara Bu Lasmi masih bergetar mengisahkan pengalaman ini. Dia juga masih merinding membayangkan sendok  garam pengawet  yang nyaris diceburkan ke dalam panci itu.

Ketika ditanya mengapa dia kemudian memutuskan untuk membuang garam pengawet itu, Bu Lasmi menjawab bahwa sampai sekarang pun dia tidak mengerti apa alasannya. Tapi banyak rekan-rekannya yang menyayangkan keputusan itu.

"Pengawet itu bukan racun," begitu kata salah seorang kawannya.  

"... Yang lain juga pake tuh!" celetuk temannya yang lain.

"Kalo kayak gini, gimana mau maju?!" komentar temannya yang lain lagi.

Ditimpali rupa-rupa komentar bernada penyesalan itu,  Bu Lasmi menepuk dadanya, dan dengan yakin ia menjawab, "Pokoknya kalau pake pengawet, hatiku nggak enak!"

Saya mendengar kisah Bu Lasmi ini dengan penuh kekaguman. Mengapa dia membuang garam pengawet itu? Mengapa dia melewatkan kesempatan emas itu? Hati saya yang terdalam membisikan jawaban ini; “Karena dia seorang Acaraki.”

0 comments:

Post a Comment

Support by: Informasi Gadget Terbaru - Dewa Chord Gitar | Lirik Lagu - Kebyar Info
Copyright © 2015 Kabar Harian Design by SHUKAKU4RT - All Rights Reserved